JAKARTA – Jarakpantau.com Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Al-Azhar, Agus Surono, setuju bahwa pasal pemilihan kepada lembaga kepresidenan dan presiden tetap harus ada dalam KUHP. Publik harus memiliki aturan, agar tidak dianggap menghina lembaga negara.
Pasal ini harus ada, karena ini kita bicara lembaga kepresidenan. Lembaga negara, kalau orang bisa menghina dirinya sendiri repot negara ini,” katanya dalam diskusi ‘Pasal Penghinaan Presiden Ancam Demokrasi?’, Minggu (13/6).
Meski demikian, dia meminta agar pasal tersebut memiliki definisi yang jelas. Sehingga masyarakat tahu dan tidak ambigu dalam mengkritik dan menghina.
Tidak hanya itu, dia juga meminta agar nantinya delik aduan harus tegas. Sehingga proses mekanisme yang didahului dengan keadilan restoratif.
“Di mana ada mekanisme perdamaian antara pelaku dan korban ini harus jelas. Mengedepankan pidana sebagai ultimum remedium,” ungkapnya.
Isi RUU Harus Jelas Jangan Multitafsir
Ketua Umum Jokowi Mania (JoMan), Immanuel Ebenezer, mengkritik tindakan terkait RUU tersebut. Sebab isinya multitafsir terkait definisi antara konten dan kritik kepada presiden.
“Definisi dulu kita selesai. Bahwa ketahuan ini seperti ini, kritik ini seperti ini. Itu kasih ke publik supaya tahu yang menghina atau mengkritik. Sampai detik ini kan multitafsir, kebiasaan para membuat UU itu selalu banci,”.
Dia , hingga saat ini tidak ada definisi yang tegas disampaikan dalam aturan tersebut. Kadang kala, kata dia, menggunakan bahasa akademik yang seolah-akan masyarakat tidak tahu.
“Makanya bahasanya masalah definisi tata bahasa yang baik, kadang-kadang bahasa akademik tidak bisa diterjemahkan dengan bahasa rakyat. Harus ada definisi antara akademi dan rakyat ini biar publik ini tahu,” bebernya.
Dia juga meminta agar DPR harus memberkan maksud dari kritik dan kritik. Sebab nanti akan menjadi salah tafsir jika tidak ada penggunaan bahasa yang lazim di masyarakat.
“Memahami ini sekali, begini mengerikan penguasa ketika dikritik tidak mengkritik akhirnya dipidana yang mengkritiknya. Begitu juga kritik yang mengkritik tidak tahu itu bukan kritik tapi hinaan, maka buat dulu definisi, baru kita membuat produk UU. Karena kalau kita lihat produk UU diciptakan harus ada kesamaan definisi itu, sampai detik ini kita enggak tau mana,” bebernya.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menuturkan, RUU KUHP belum diajukan ke DPR untuk masuk program legislasi nasional (Prolegnas). Kementerian Hukum dan HAM masih melakukan sosialisasi.
“Seperti rapat rapat kerja sebelumnya bahkan Komisi III pernah surati kami, dan kami tetap berkomitmen untuk melakukan terlebih dahulu sosialisasi,” kata Yasonna saat rapat dengan Komisi III DPR RI, Rabu (9/6).(*)